ALLAH DI ATAS LANGIT MENURUT FITRAH MANUSIA. - Permata Salafus Sholih

Breaking

Meniti Aqidah dan Manhaj Para Nabi dan Salafus Sholeh

Anda diperbolehkan mengkopi paste ayat, hadist dan terjemahannya tanpa menyebutkan sumbernya serta diperbolehkan untuk menyebarkan artikel-artikel di blog ini dengan menyertakan sumbernya, namun anda dilarang menyebarkannya dengan mengeditnya dan mengakui sebagai tulisan anda dengan tujuan komersil atau non komersil

Senin, 15 Februari 2016

ALLAH DI ATAS LANGIT MENURUT FITRAH MANUSIA.

Aku pernah bertanya kepada beberapa anak kecil usia sekolah dasar tentang aqidah. Aku ingin tahu jawaban anak-anak ini. Jawaban dari anak-anak yang masih polos dan belum banyak dicampuri berbagai pemikiran menyimpang. Di samping itu aku juga ingin menanamkan aqidah yang benar kepada mereka.

“Dimanakah Allah?” Inilah pertanyaanku. Sesaat kulihat mereka diam, tidak ada yang menjawab. Ada pula yang ragu dan takut-takut ingin menjawab. Namun tiba-tiba di antara mereka ada yang menjawab dengan agak takut,”Di atas langit.”

Subhanallah, sebuah jawaban dari seorang anak yang aku bapaknya memang dari jama’ah yang mengajarkan bahwa Allah tidak di atas langit namun di mana-mana, atau yang mengajarkan tidak di dalam atau luar Alam, sehingga diapun belajar di lembaga-lembaga pendidikan jama’ah tersebut.

Sebuah jawaban yang sesuai dengan fitrahnya karena bisa jadi anak ini belum diajari tentang aqidah mereka sebelumnya, karena kalau sudah diajari tentu jawabannya akan lain. Namun itulah fitrah manusia berkeyakinan dasar bahwa Allah ﷻ itu maha tinggi di atas langit, jauh dan terpisah dari  hambanya. Karena Sifat ‘Uluwwu (tinggi) bagi Allah itu adalah sifat kesempurnaan dalam keyakinan setiap orang awam. Berbeda dengan keyakinan Allah di mana-mana, maka ini adalah keyakinan yang bertentangan dengan fitrah manusia karena sifat seperti ini adalah sifat rendah dan lemah.

Pertanyaanku tersebut sebenarnya berlandaskan perbuatan Rosulullah ﷺ yang bertanya kepada seorang budak kecil.

عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِي :وَكَانَتْ لِي جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا لِي قِبَلَ أُحُدٍ وَالْجَوَّانِيَّةِ، فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ فَإِذَا الذِّيبُ قَدْ ذَهَبَ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا، وَأَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِي آدَمَ، آسَفُ كَمَا يَأْسَفُونَ، لَكِنِّي صَكَكْتُهَا صَكَّةً، فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَيَّ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ أَفَلَا أُعْتِقُهَا؟ قَالَ: «ائْتِنِي بِهَا» فَأَتَيْتُهُ بِهَا، فَقَالَ لَهَا: «أَيْنَ اللهُ؟» قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ، قَالَ: «مَنْ أَنَا؟» قَالَتْ: أَنْتَ رَسُولُ اللهِ، قَالَ: «أَعْتِقْهَا، فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ»

Dari Muawiyyah bin al-Hakam as-Sulamy,”Aku mempunyai budak wanita yang menggembala kambingku ke arah bukit Uhud dan al-Jawwaniyyah. Maka suatu hari aku berangkat, lalu mendapati serigala membawa lari salah satu kambingnya. Sedangkan aku adalah salah satu manusia yang merasa sedih dan marah seperti mereka, akupun menamparnya. Lalu aku mendatangi Rosulullah. Maka beliau menganggap besar permasalahanku tersebut. Aku bertanya,’Ya Rosulullah haruskah aku membebaskannya?’ Beliau menjawab’Bawa dia kemari.’ Maka akupun membawanya. Lalu Rosulullah bertanya,’Di manakah Allah?’ dia menjawab,’ Di atas langit.’ Rosulullah bertanya lagi,’ Siapa saya?’ Dia Menjawab,’Engkau utusan Allah.’ Maka Rosulullah berkata,’Bebaskan dia karena dia mukminah.”(HR. Muslim: 537).
Jariyah (budak Wanita) tersebut menjawab Allah ﷻ di atas langit adalah jawaban yang sesuai dengan fitrahnya karena bisa jadi dia belum belajar sebelumnya.
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin رحمه الله berkata:

فهذه جارية لم تتعلم ، والغالب على الجواري الجهل ، لا سيما وهي أمة غير حرة ، لا تملك نفسها ، تعلم أن ربها في السماء ، وضلال بني آدم ينكرون أن الله في السماء، ويقولون: إما أنه لا فوق العالم ولا تحته ولا يمين ولا شمال! أو أنه في كل مكان!! .

“Maka budak wanita ini -yang belum belajar, kebanyakan para budak wanita itu dalam kebodohan, terutama keadaannya  sebagai budak yang tidak merdeka dan tidak memiliki dirinya sendiri- mengetahui Robnya di atas langit, sedangkan orang-orang sesat mengingkari bahwasanya Allah di atas langit. Mereka berkata,’ Dia tidak di atas alam atau dibawahnya, tidak di sebelah kanan dan kiri!’ Atau ada juga yang berkata, ‘Dia di setiap tempat (di mana-mana)!’”(Majmu’ Fatwa Wa Rosail: 8/331)
   
Maka Jawaban-jawaban bahwa Allah ﷻ berada di atas langit dari anak-anak kecil yang belum belajar dan belum tersentuh pemikiran menyimpang ini, menunjukkan bahwa itulah keyakinan bawaan manusia (fitrah) yang  merupakan dalil  bagi aqidah ini. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata:

فإن القلوب مفطورة على [الإقرار] بأن الله في العلو، وعلى أنه يدعى من أعلى لا من أسفل

“Maka sesungguhnya semua hati tercipta sesuai fitrah dalam menetapkan bahwa Allah berada di atas dan dimintai permohonan dari atas bukan dari bawah.”(Fatwa al-Hamawiyyatul Kubro hal.323)
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin berkata:

ولدينا أدلة زائدة على السمع و العقل و هي الفطرة: فإن كل إنسان مفطور على علو الله ولذلك لو أن الإنسان من غير أن يدرس أو يتعلم لو سأل الله حاجة أين ينصرف قلبه؟ إلى العلو ما فوقه أحد يقول: يا رب و يضع يده في الأرض؟ أبدا كل إنسان يقول: يا رب و يرفع يديه إلى السماء.
“Dan kami mempunyai tambahan dalil di samping dalil audio dan akal, yaitu fitrah, Sesungguhnya semua orang tercipta berdasarkan fitrah atas ketinggian Allah, oleh sebab itu seandainya orang yang tidak pernah belajar meminta kepada Allah kemana hatinya menghadap? Apakah ke atas yang tiada seorangpun di atas-Nya sambil berdo’a,’Ya Robbi’  namun ia meletakkan tangannya ke bumi? Selama-lamanya setiap orang berdo’a ‘ya Robbi’ sambil mengangkat tangannya ke langit.”(Syarh ar-Risalah at-Tadammuriyyah hal. 228)
Oleh sebab itu pula ketika Imam Haromain, Abul Ma’ali ruju’ dan bertaubat dari keyakinan bahwa Allah ﷻ tidak di atas Arsy maka beliau menyandarkan akidah yang benar itu kepada Fitrah yaitu Aqidah ibunya yang tidak pernah belajar ilmu kalam dan keyakinan-keyakinan yang menyimpang. Beliau  رحمه الله berkata: 

لقد خضت البحر الخضم، وتركت أهل الإسلام وعلومهم، وخضت في الذي نهوني عنه، والآن إن لم يتداركني ربي برحمته فالويل لفلان، وها أنا أموت على عقيدة أمي
“Aku telah mengarungi lautan luas, dan aku telah meninggalkan para ulama’ dan ilmunya. Aku telah memasuki wilayah yang mereka larang. Dan sekarang, sekiranya tuhanku tidak memperbaikiku dengan rohmat-Nya tentu celakalah si fulan. Inilah aku sekarang, akan mati di atas aqidah ibuku.”(Fatwa al-Hamawiyyatul Kubro hal.194)

Syaikh Sholih bin Abdul Aziz Alus Syaikh حفظه الله dalam mengomentari ucapan ini berkata, “Ucapan ’Di atas aqidah ibuku’ maksudnya adalah aqidah yang bersih. Yang tidak tercampur kata-kata ini (kata-kata ahli kalam yang melenceng dari syari’at-Pent). Dari sini saya mengharapkan kalian memperoleh faedah yang besar, yaitu ucapan ahli kalam ini ‘Aku akan mati di atas aqidah ibuku’ telah membatalkan (membantah) ucapan orang-orang yang mengatakan  bahwa kebanyakan umat atau as-sawadul a’dzom (golongan besar) dari umat ini adalah berada di atas jalan kaum Asy’ariyyah atau Maturudiyyah dan bukan di atas jalannya para salaf. Jalan kaum Asya’riyyah atau Maturudiyyah ada di dalam pikiran orang-orang yang mempelajarinya yaitu orang-orang ahli kalam (ahli Filsafat) dan para ulama’ mereka. Adapun orang awam, jika kamu datang bertanya kepadanya di negara manapun dia berada, maka dia akan menetapkan apa yang ditetapkan oleh al-Qur’an, tidaklah muncul dalam fikirannya kecuali yang dia dengar berdasarkan dzohirnya lafadz. Oleh sebab itu Ahli kalam ini mengatakan ‘Aku akan mati di atas aqidah ibuku’ kenapa ibumu tidak sepertimu? Karena dia (ahli kalam) dengan pembelajarannya telah menyimpang dari fitrahnya. Oleh sebab itu tidak boleh ditoleransi ucapan orang yang mengatakan bahwa kebanyakan umat ini adalah As’ariyyah atau as-sawadul a’dzom (golongan besar) ini bukan berada di atas jalan salaf atau jalan kaum Wahabi ini. Bahkan kebanyakan awam umat ini dalam bab sifat, bukan bab tauhid ibadah, dalam bab sifat tidak mengetahui teori filsafat (kalam) atau ta’wil (penafsiran yang menyimpang dari makna yang sebenarnya), mereka hanya mendengar dan menerimanya. Jika kamu mendatangi mereka dengan membawa tafsir Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir lalu membacakannya maka tidaklah mereka mengingkarinya sedikitpun. Berbeda dengan orang yang belajar, maka dia telah keluar dari fitrahnya kepada pemikiran yang lain. Orang ini mengatakan ‘Aku akan mati di atas aqidah ibuku’ maka ibunya berada di atas fitrah, sedangkan dia dengan pembelajarannya telah rusak firohnya, dan keluar dari jalannya para salaf. Maka orang awam kaum muslimin tidak mengetahui teori-teori dan ta’wilan-ta’wilan ini, mereka hanya pasrah kepada nash-nash (dalil al-Qur’an dan hadist sesuai dzohirnya-pent).”(Syarh al-Fatwa al-Hamawiyatul Kubro hal. 27-28)

Oleh sebab itu, maka kewajiban bagi  orang mukmin untuk menegakkan Aqidah yang sesuai fitrah ini, Karena Fitrah itu adalah agama yang lurus yang di perintahkan oleh Allah untuk menegakkannya:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka tegakkanlahlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tegakkanlah) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”(QS a-Rum: 30)

    Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata:

أَيْ: لَا تُبَدِّلُوا فِطْرَةَ اللَّهِ، وَدَعُوا النَّاسَ عَلَى فِطْرَتِهِمْ
“Maknanya: Janganlah kalian merubah fitrah Allah dan biarkan manusia di atas fitrahnya.”(Tafsir al-Qur’an al-Adzim: 2/368)

    Begitu Pula orang mukmin harus menegakkan dan mengajari Aqidah ini kepada Anak- anaknya dengan bertanya’Dimanakah Allah?’ sesuai pertanyaaan Rosulullah ﷺ kepada budak wanita dalam hadist Jariyah di atas. Syaikh Muhammad Jamil Zainu رحمه الله berkata:

مشروعية السؤال بأين الله وأنه سنة حيث سأله رسول الله ﷺ

“Disyari’atkannya bertanya dengan pertanyaan dimanakah Allah, karena itu adalah sunnah yang dilakukan oleh Rosulullah ﷺ.”(Kaifa Nurobbi Awladana hal. 18)

    Semoga kita tetap dalam Aqidah yang sesuai fitrah kita. Amin. Wallahu A’lam Bis Showab.

Oleh Abu Hasan as-Syihaby
Gerimis menjelang Ashar di kawasan pantura kabupaten Lamongan Jatim, Kamis,02 Jumadil Ula 1437 H/ 11 Pebruari 2016 M


Referensi:
  1. Al-Qur’an Al-Karim, Maktabah Syamelah.
  2. Fatwa al-Hamawiyyatul Kubro, , Taqiyyuddin Abul Abbas Ahmad bin Abdul Halim Ibnu Taimiyyah, Tahqiq Dr Hamd bin Abdul Muhsin at-Tuwaijiri, Dar As- Shumai’i, Riyadh, cet kedua, 1425 H/ 2004 M, Maktabah Syamelah.
  3. Kaifa Nurobbi Awladana Wa Ma Huwa Wajibul Aaba’ Wal Abna’, Muhammad bin Jamil Zainu.
  4. Majmu’ Fatwa Wa Rosail, Muhammad bin Sholih al-Utsaimin, dihimpun Fahd bin Nasir bin Ibrohim as-Sulaiman, Darul Waton, Daruts Tsuroyya, cet terakhir, 1413 H, Maktabah Syamelah.
  5. Shohih Muslim, Muslim bin al-Hajjaj Abul Hasan al-Qusyairi, Tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, Dar Ihya’ut Turots, al-Arobi, Beirut, Maktabah Syamelah.
  6. Syarh ar-Risalah at-Tadammuriyyah, al-Imam al-Allamah Muhammad bin Sholih al-Utsaimin, Dar Ibnil Jauzi, Kairo, Cet Pertama, 1435 H/ 2014 M.
  7. Syarh al-Fatwa al-Hamawiyatul Kubro, Abdul Aziz bin Abdullah ar-Rojihi dan Sholeh bin Abdul Aziz Alus Syaikh, Dar Ibnil Jauzi, Kairo, Cet Pertama, 1427 H/ 2008 M.
  8. Tafsir al-Qur’anul Adzim, Abul Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurosyi, tahqiq Muhammad Husain Syamsuddin, Darul Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, cet pertama, 1419 H, Maktabah Syamelah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jazakumullah atas kunjungan dan perhatian anda. Komentar yang bijak adalah kehormatan kami.