Perdebatan Antara Al-Adzromi dan Ahmad bin Abi Du’ad - Permata Salafus Sholih

Breaking

Meniti Aqidah dan Manhaj Para Nabi dan Salafus Sholeh

Anda diperbolehkan mengkopi paste ayat, hadist dan terjemahannya tanpa menyebutkan sumbernya serta diperbolehkan untuk menyebarkan artikel-artikel di blog ini dengan menyertakan sumbernya, namun anda dilarang menyebarkannya dengan mengeditnya dan mengakui sebagai tulisan anda dengan tujuan komersil atau non komersil

Selasa, 01 Agustus 2017

Perdebatan Antara Al-Adzromi dan Ahmad bin Abi Du’ad

Kebenaran adalah sesuatu yang harus dijunjung tinggi dan dibela sampai titik darah penghabisan. Oleh sebab itulah, dengan berbagai cara yang dibenarkan oleh syari’at para ulama’ ahlus sunnah berusaha membela kebenaran. Salah satunya adalah apa yang dilakukan oleh seorang ulama’ pada masa al-Watsiq billah dalam membantah gembong mu’tazilah jahmiyyah,  Ahmad bin Abi Du’ad yang memaksakan dan penyebarkan faham bid’ah dan batil, kholqul Qur’an. Kisah tersebut diceritakan dalam beberapa kitab. Berikut cerita versi Imam al-Ajuri dalam kitab as-Syari’ah:
Telah menceritakan kepada kami Abu Abdillah Ja’far bin Idris Al-Qozwini, dia berkata: telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Al-Mumtani’ bin Ubaidillah Al-Qurosyi At-Taimi, dia berkata: telah menceritakan kepada kami Abul Fadhl Sholih bin Ali bin Ya’qub bin Al-Manshur Al-Hasyimi, dia termasuk tokoh dan pembesar pemegang urusan Bani Hasyim, dia berkata,”Aku pernah menghadiri majlis Al-Muhtadi Billah Amirul Mukminin yang sedang mengawasi urusan kaum muslimin di pendopo utama. Kemudian aku menyaksikan kisah orang-orang dibacakan dari awal hingga akhir, lalu dia menyuruh  menandatanganinya dan menerbitkan buku tentangnya. Ia menyetempel dan menyerahkan ke pemiliknya di hadapannya. Pemandangan itu membuatku senang. Aku melihatnya terus hingga dia tersadar dan melihatku. Maka aku memalingkan pandanganku nya sampai terjadi berkali-kali.  Jika dia melihatku maka aku memalingkan pandanganku dan jika dia sibuk maka aku melihatnya. Akhirnya dia berkata,’Wahai Sholih.’ Jawabku,’Labbaik,  wahai Amirul Mukminin.’ Aku pun berdiri. Lalu dia bertanya,’Adakah sesuatu yang ingin kamu ucapkan?’  Atau dia berkata ,’Apakah  engkau  ingin mengatakan sesuatu?’ Jawabku,’ Iya, wahai tuanku  Amirul Mukminin.’ Dia berkata,’Kembalilah ke tempatmu.’ Maka aku pun kembali dan  menyaksikan kembali kegiatan tadi sampai dia berdiri dan berkata kepada pengawalnya,’Apakah Sholih masih ada?’ Lalu orang-orang pun pergi dan dia mengizinkanku. Aku pun merasa kawatir. Kemudian aku masuk dan mengucapkan do’a untuknya. Lalu dia berkata kepadaku,’Duduklah!’ akupun duduk. Dia berkata lagi,’Wahai Sholih, katakanlah kepadaku! apa yang ada dalam fikiranmu? Ataukah  aku katakan bahwa apa yang ada dalam diriku juga ada dalam dirimu?’ Aku berkata,’Ya Amirul Mukminin , yaitu tentang apa yang engkau tetapkan dan perintahkan.’ Maka dia berkata,’Aku akan mengatakan bahwa seolah-olah aku bersamamu sedangkan engkau telah menganggab baik apa yang engkau lihat dari kami.’ Maka aku berkata,’ Siapakah kholifah kami yang tidak mengatakan Al-qur’an adalah makhluk? Maka hatiku pun terasa tertimpa urusan besar serta merasa khawatir, maka aku membatin,’Wahai diri, bukankah engkau akan mati satu kali? apakah engkau akan mati sebelum datang ajalmu? Apakah boleh berbohong dalam urusan berat atau bergurau? Aku pun berkata,’Demi Allah wahai Amirul Mukminin tidaklah ada dalam diriku kecuali yang aku katakan,’ Lalu dia diam beberapa lama, lalu berkata kepadaku,’Bagus, dengarkanlah ucapanku , demi Allah engkau akan mendengarkan kebenaran dariku.’ Aku pun bergembira dan berkata,’Wahai tuanku, siapakah yang lebih berhak berkata benar selain engkau, sedangkan engkau adalah kholifah Robbil ‘Alamin dan anak paman penghulu para rosul dari awal hingga akhir.’ Lalu dia berkata kepadaku,’Aku masih mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk  sejak kekholifahan al-Watsiq sampai Ahmad bin Abi Du’ad mendatangkan kepada kami seorang syaikh dari penduduk Syam, tepatnya penduduk Adzanah. Sang syaikh dihadapkan kepada al-Watsiq dalam kadaan terbelenggu. Dia seorang yang berwajah tampan, tegak postur tubuhnya dan dengan rambut beruban bagus. Aku melihat al-Watsiq merasa malu dan kasihan kepadanya, namun dia tetap mendekatkannya sedekat-dekatnya, lalu sang syaikh mengucapkan salam dengan baik dan berdo’a secara sempurna dan ringkas. Al-Watsiq pun berkata kepadanya,’Duduklah!,’ Lalu berkata,’Wahai Syaikh, bantahlah pendapat Ibnu Abi Du’ad yang telah disampaikan kepadamu!’ Sang syaikh pun berkata,’Wahai Amirul Mukminin, Ibnu Abi Du’ad terasa remeh, dia kesulitan dan tidak mampu berargumen.’ Maka Al-Watsiq marah, rasa kasihannya berubah jadi kemarahan. Dia berkata,’Ibnu Abi Du’ad terasa remeh, kecil dan tidak mampu membantahmu?’ Sang Syaikh berkata,’Tenanglah wahai Amirul Mukminin, apa yang terjadi padamu, izinkan aku berdebat dengannya.’ Maka al-Watsiq berkata,’Aku tidak memanggilmu kecuali untuk berdebat.’ Kemudian sang Syaikh berkata,’Wahai Ahmad bin Abi Du’ad, apa yang engkau dakwahkan kepada manusia dan kepadaku?’ Ahmad bin Abi Du’ad pun menjawab,’Supaya kamu mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk, karena  segala sesuatu selain Allah adalah makhluk.’ Sang syaikh berkata,’Wahai Amirul Mukminin, engkau harus ingat ucapan kami ketika berdiskusi.’ Dia berkata,’Akan aku lakukan.’ Sang Syaikh berkata,’Wahai Ahmad, kabarkanlah kepadaku tentang ucapanmu ini, Apakah ia wajib termasuk bagian ajaran aqidah agama ini, sehingga agama ini tidak sempurna sampai menerapkan ucapanmu itu?’ Dia menjawab,’Iya.’ Sang syaikh berkata,’Wahai Ahmad, beritahukanlah kepadaku tentang Rosulullah ﷺ ketika diutus oleh Allah ta’ala kepada hamba-hamba-Nya, apakah Rosulullah ﷺ menyembunyikan sesuatu yang diperintahkan oleh Allah ta’ala tentang agama ini? Ia menjawab,’Tidak.’ Sang Syaikh berkata,’Lalu apakah Rosulullah ﷺ mendakwahkan ucapanmu ini?’ Maka Ibnu Abi Du’ad terdiam. Sang Syaikh berkata,’Bicaralah, kenapa diam?’ Lalu  sang Syaikh menoleh kepada al-Watsiq sambil berkata,’Wahai Amirul Mukminin, satu kosong.’ Maka Al-Watsiq berkata,’Satu kosong.’ Kemudian sang Syaikh  berkata lagi,’Wahai Ahmad, beritahukanlah kepadaku tentang Allah ta’ala, ketika  Dia menurunkan al-Qur’an kepada Rosulullah ﷺ lalu berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي، وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. (QS. Al-Maidah : 3)
Apakah Allah ta’ala benar dalam menyempurnakan agamanya ataukah kamu yang benar dalam menguranginya, sehingga agama ini tidak sempurna sampai ucapanmu ini diterapkan?’  Maka Ibnu Abi Du’ad terdiam.  Sang syaikh berkata,’Jawab wahai Ahmad.’ Dia tidak menjawabnya, lalu sang syaikh berkata,’Wahai Amirul Mukminin, dua kosong.’ Al-Watsiq berkata,’Dua kosong.’ Lalu sang syaikh berkata,’Wahai Ahmad beritahukanlah kepadaku tentang ucapanmu ini, Apakah Rosulullah ﷺ mengetahuinya atau tidak mengetahuinya?’ Ibnu Abi Du’ad menjawab,’Beliau mengetahuinya.’ Lalu sang syaikh berkata,’Lalu apakah beliau mendakwahi manusia kepadanya?’ Maka Ibnu Abi Du’ad terdiam, sang syaikh pun berkata,’Wahai Amirul Mukminin, tiga kosong.’ Al-Watsiq menimpali,’Tiga kosong.’ Lalu sang syaikh berkata lagi,’Wahai Ahmad, Apakah jika Rosulullah ﷺ mengetahuinya sebagaimana yang kamu akui, apakah beliau mampu mendakwahkannya, lalu kenapa beliau tidak menuntut umatnya untuk mengimani ucapanmu itu?’ dia menjawab,’Iya beliau mampu.’ Lalu sang syaikh berkata,’Apakah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali rodhiyallahu ‘anhum mampu mendakwahkannya?’ Ibnu Abi Du’ad menjawab,’Iya.’ Maka sang syaikh berpaling darinya dan menghadap kepada al-Watsiq, sambil berkata,’Wahai Amirul Mukminin, aku telah mengatakan kepadamu bahwa Ahmad kekanak-kanakan, remeh dan lemah dalam berdebat, wahai Amirul Mukminin, jika kamu tidak mampu menghentikan ucapan ini, yang Rosulullah ﷺ, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali rodhiyallahu ‘anhum mampu mendakwahkannya, maka semoga Allah tidak memberi kemampuan kepada orang yang tidak mampu mendakwahkan apa yang mereka mampu mendakwahkannya.’ Lalu Al-Watsiq berkata,’Iya, jika kita tidak mampu menghentikan ucapan ini, yang Rosulullah ﷺ, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali rodhiyallahu ‘anhum mampu mendakwahkannya, maka semoga Allah tidak memberi kita kemampuan. Lepaskanlah belenggu syaikh!’ Ketika dilepaskan maka sang syaikh menjulurkan tangannya untuk mengambil belenggu itu, namun sang algojo menariknya, maka al-Watsiq berkata,’Biarkan syaikh mengambilnya, lalu sang syaikh mengambil dan meletakkannya di lengan bajunya. Maka Al-Watsiq bertanya,’Kenapa engkau mengambilnya?’ sang Syaikh menjawab,’Karena aku telah berniat akan memberikannya kepada orang yang aku beri wasiat, kalau aku mati nanti supaya dia meletakkannya diantara aku dan kain kafanku sehingga aku dapat menggunakannya untuk  menuntut orang dzolim ini di sisi Allah pada hari kiamat, lalu aku akan berkata,’Wahai Rob, tanyailah hambamu ini kenapa dia membelengguku dan meneror keluargaku, anakku, dan saudar-saudaraku tanpa kebenaran, dan kenapa dia memaksakan ucapan itu kepadaku?’ Lalu sang syaikh menangis , Al-Watsiq pun menangis dan kami pun menangis.   Kemudian Al-Watsiq  memintanya supaya memberikan maaf kepada setiap kesalahan yang dilakukannya. Maka sang syaikh berkata,’Demi Allah wahai Amirul Mukminin, aku telah memberimu maaf sejak  awal sebagai penghormatan terhadap Rosulullah ﷺ, karena engkau termasuk ahlu baitnya.’ Maka Al-Watsiq berkata,’Aku mempunyai permintaan kepadamu.’Sang syaikh berkata,’Jika memungkinkan akan aku lakukan.’ Al-watsiq berkata,’Tinggallah bersama kami supaya orang-orang kami memperoleh manfaat darimu.’ Sang syaikh berkata,’Wahai Amirul Mukminin, jika engkau mengembalikanku ke tempat orang dzolim ini mengeluarkanku  itu lebih bermanfaat bagimu daripada tinggalku bersamamu, hal ini karena  aku akan kembali ke keluargaku dan anakku kemudian aku akan melarang mereka mendo’akan buruk kepadamu karena sebenarnya aku tinggalkan mereka dalam keadaan seperti itu.’ Lalu Al-Watsiq berkata,’Kalau begitu,  terimalah hubungan dari kami yang dengannya engkau dapat meminta apapun selama hidupmu.’ Sang syaikh berkata,’Wahai Amirul Mukminin itu tidak halal bagiku, aku tidak membutuhkannya karena aku adalah orang yang sehat wal afiat.’ Dia berkata,’Ajukanlah permohonan!.’ Sang syaikh berkata,’Apakah engkau akan menunaikannya wahai Amirul Mukminin?’ Dia menjawab,’Iya.’ Sang syaikh berkata,’Lepaskanlah aku menuju desa at-Tsagr sekarang juga, dan berikanlah aku izin.’ Dia berkata,’Aku telah mengizinkanmu.’ Lalu sang syaikh mengucapkan salam dan keluar. Al-Muhtadi billah rohimahullah berkata,’Maka sejak hari itu aku ruju’ dari ucapan ini dan aku kira Al-Watsiq billah pun ruju’ pula.’”(As-Syari’ah Lil Ajuri: no. 193, Tarikh Baghdad: 11/271, Siyar A’lamin Nubala’: 11/313-315, Manaqib Al-Imam Ahmad hal. 475-480)
Jati Diri Sang Syaikh
Khotib Al-Bagdadi meriwayatkan dengan sanadnya tentang siapa sebenarnya sang syaikh, dia mendengar Al-Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Abdur Rohman Asy-Syirozy berkata,”Sang Syaikh adalah Abu Abdur Rohman Abdullah bin Muhammad bin Ishaq al-Adzromi.”
أَخْبَرَنَا أبو بكر عبد اللَّه بن حمويه بن أبرك الهمذاني، بِها، سمعت أبا بكر أَحْمَد بن عبد الرحمن الشيرازي الحافظ.
وحَدَّثَنَا بِحديث الشيخ الأذني ومناظرته مع ابن أبي دؤاد بحضرة الواثق، فقَالَ: الشيخ هو أبو عبد الرحمن عبد اللَّه بن مُحَمَّد بن إسحاق الأذرمي.
(Tarikh baghdad: 11/271)
Faedah Kisah:
Banyak sekali faedah yang dapat diambil dari kisah tersebut, diantaranya:
1.    Membantah ahli batil dan ahli bid’ah dalam membela kebenaran dan menyingkirkan syubhat adalah sebuah kewajiban.
Imam al-Qurtubi rohimahullah  berkata:
فَأَمَّا الْجِدَالُ فِيهَا لِإِيضَاحِ مُلْتَبِسِهَا، وَحَلِّ مُشْكِلِهَا، وَمُقَادَحَةِ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي اسْتِنْبَاطِ مَعَانِيهَا، وَرَدِّ أَهْلِ الزَّيْغِ بِهَا وَعَنْهَا، فَأَعْظَمُ جِهَادٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ.
“Maka adapun memperdebatkannya (ayat-ayat Allah) untuk menjelaskan hal-hal yang samar dan menguraikan permasalahannya serta berdiskusi dengan ahli Ilmu dalam menafsirkan maknanya, serta membantah para penyeleweng dengannya atau untuk membelanya maka itu termasuk jihad fi sabilillah.” (Tafsir al-Qurtubi: 15/292)
Syaikhul islam Ibnu Taimiyah rohimahullah berkata:
فَالرَّادُّ عَلَى أَهْلِ الْبِدَعِ مُجَاهِدٌ حَتَّى كَانَ " يَحْيَى بْنُ يَحْيَى " يَقُولُ: " الذَّبُّ عَنْ السُّنَّةِ أَفْضَلُ مِنْ الْجِهَادِ
“Maka orang yang membantah ahli bid’ah adalah mujahid hingga Yahya bin Yahya berkata,’Membela Sunnah itu lebih utama daripada jihad.””(Majmu’ Fatawa:4/13)
Adapun perdebatan yang diingkari oleh ulama’ salaf adalah perdebatan yang batil. Karena perdebatan ada dua jenis, yaitu perdebatan yang terpuji dan perdebatan yang tercela atau batil. Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rohimahullah berkata:
وينقسم الخصام والجدال في الدين إلى قسمين:
الأول: أن يكون الغرض من ذلك إثبات الحق وإبطال الباطل وهذا مأمور به إما وجوبًا أو استحبابًا بحسب الحال لقوله تعالى: {ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ} [النحل: 125] .
الثاني: أن يكون الغرض منه التعنيت أو الانتصار للنفس أو للباطل فهذا قبيح منهي عنه لقوله تعالى: {مَا يُجَادِلُ فِي آيَاتِ اللَّهِ إِلاَّ الَّذِينَ كَفَرُوا} [غافر: 4] . وقوله: {وَجَادَلُوا بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوا بِهِ الْحَقَّ فَأَخَذْتُهُمْ فَكَيْفَ كَانَ عِقَابِ} [غافر: 5] .
Perbantahan dan perdebatan tentang agama itu terbagi menjadi dua: yang pertama, jika tujuan perdebatan adalah untuk menegakkan kebenaran dan meruntuhkan kebatilan, maka hali ini diperintahakan baik hukumnya wajib atau sunat berdasarkan firman Allah ta’ala:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Ajaklah kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah (sunnah) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (QS. An-Nahl: 126)
Yang kedua, jika tujuannya adalah untuk menyusahkan atau kemenangan pribadi atau demi kebatilan maka ini jelek dan terlarang berdasarkan fiman Allah ta’ala:
مَا يُجَادِلُ فِي آيَاتِ اللَّهِ إِلاَّ الَّذِينَ كَفَرُوا
Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir. (QS. Ghofir: 4)
Dan firman-Nya:
وَجَادَلُوا بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوا بِهِ الْحَقَّ فَأَخَذْتُهُمْ فَكَيْفَ كَانَ عِقَابِ
Dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu; karena itu aku azab mereka. Maka betapa (pedihnya) azab-Ku?(QS. Ghofir: 4) (Ta’liq Mukhtashor Lum’atil I’tiqod  hal. 160-161)
Syaikh Ibrohim ar-Ruhaili Hafidzohullah berkata:
 فـالمتحصل من كلام أهل العلم في المفارقة بين نوعي الجدال المحمود والمذموم:أن المجادلة المحمودة: هي ما كانت لإثبات الحق، أو دفع باطل، أو للتعليم والاستيضاح فيما يشكل على الإنسان من المسائل.
وأن المجادلة المذمومة: هي ما كانت لرد الحق أو نصرة الباطل، أو كانت فيما نهى الله ورسوله[صلى الله عليه وسلم] عن المجادلة فيه كالمجادلة في المتشابه، وفي الحق بعد ما تبين، أو كانت لحظ النفس: كإظهار العلم، والفطنة والذكاء مراءاة للناس وطلباً لثنائهم، أو لغير ذلك من المقاصد المذمومة كالعناد والتعصب للرأي
“Maka kesimpulan dari ucapan ulama’ tentang perbedaan di antara dua perdebatan, yang terpuji maupun tercela. Perdebatan yang terpuji adalah perdebatan untuk menegakkan kebenaran dan membantah kebatilan atau untuk mengajari dan menjelaskan kepada manusia tentang hal-hal yang samar. Sedangkan perdebatan yang tercela adalah perdebatan untuk membantah kebenaran atau menolong kebatilan atau perdebatan yang dilarang oleh Allah dan Rosulnya ﷺ seperti perdebatan tentang ayat-ayat mutasyabihat (ayat-ayat yang masih samar maknanya bagi orang awam-pent) atau mendebat kebenaran yang telah jelas atau untuk maenaikkan harga diri seperti menampakkan ilmu, kecerdasan, kepandaian dengan cara berbuat riya’ kepada manusia serta mencari pujian mereka atau  untuk tujuan-tujuan jelek lainnya seperti kesombongan dan fanatisme pendapat.”(Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah minal Ahwa’ wal bida’: 2/603)
2.    Orang yang mendebat ahlul batil dan ahlul bid’ah haruslah seorang ulamayang mumpuni  atau orang yang mempunyai Ilmu yang luas dan kokoh serta memiliki hujjah dan dalil-dalil yang kuat sebagaimana Al-Adzromi, atau ulama’ lain sebagaimana yang direkomendasikan berikut:
Harun bin Sa’id berkata:
«لَوْ أَنَّ الشَّافِعِيَّ، نَاظَرَ عَلَى هَذَا الْعَمُودِ الَّذِي مِنْ حِجَارَةٍ أَنَّهُ مِنْ خَشَبٍ لَغَلَبَ بِالْمُنَاظَرَةِ لِاقْتَدَارِهِ عَلَيْهَا»
“Sekiranya Imam Syafi’I membantah tentang tiang yang terbuat dari batu ini dengan mengatakan bahwa ia terbuat dari kayu tentu dia menang karena kemampuannya untuk berdebat.”(Hilyatul Auliya’: 9/115, Tarikh Dimasq li Ibni Asakir:51/376)
Imam Syafi’irohimahullah  berkata tentang al-Muzani:
هَذَا لَوْ نَاظَرَهُ الشَّيْطَانُ، قَطَعَهُ وَجَدَلَهُ.
“Sekiranya orang ini membantah syetan maka dia akan mematahkannya dan menjatuhkannya.”(Siyar A’lamin Nubala’ : 10/40)
Tujuan dari syarat ini adalah supaya kebenaran menang adapun kalau orang yang tidak kokoh keilmuannya maka dikawatirkan akan salah sehingga kebenaran menjadi kalah dan menyebabkan banyak orang salah faham dan tersesat karenannya. Imam Syatibi rohimahullah menceritakan dari Ibnu Farukh:
" أَنَّهُ كَتَبَ إِلَى مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ إِنَّ بَلَدَنَا كَثِيرُ الْبِدَعِ، وَإِنَّهُ أَلَّفَ كَلَامًا فِي الرَّدِّ عَلَيْهِمْ.
فَكَتَبَ إِلَيْهِ مَالِكٌ يَقُولُ لَهُ: إِنْ ظَنَنْتَ ذَلِكَ بِنَفْسِكَ، خِفْتُ أَنْ تَزِلَّ فَتَهْلِكَ، لَا يَرُدُّ عَلَيْهِمْ إِلَّا مَنْ كَانَ ضَابِطًا عَارِفًا بِمَا يَقُولُ لَهُمْ، لَا يَقْدِرُونَ أَنْ يُعَرِّجُوا عَلَيْهِ، فَهَذَا لَا بَأْسَ بِهِ، وَأَمَّا غَيْرُ ذَلِكَ، فَإِنِّي أَخَافُ أَنْ يُكَلِّمَهُمْ فَيُخْطِئَ فَيَمْضُوا عَلَى خَطَئِهِ، أَوْ يَظْفَرُوا مِنْهُ بِشَيْءٍ فَيَطْغَوْا وَيَزْدَادُوا تَمَادِيًا عَلَى ذَلِكَ
Bahwasanya dia Ibnu Farukh menulis surat kepada Malik bin Anas tentang banyaknya bid’ah di negerinya, dan dia melontarkan kata-kata untuk membantah mereka. Maka Malik berkata kepadanya,’Jika kamu berfikir itu dengan nafsumu, maka aku takut engkau tergelincir lalu hanculah kamu. Janganlah membantah mereka kecuali orang yang kokoh pengetahuannya sehingga mereka tidak bisa menggoyangkannya, maka ini tiada mengapa. Sedangkan selain itu, maka aku takut jika dia membantah mereka lalu salah kemudian mereka melewati kesalahannya atau mereka menang lalu mereka sombong dan teru- menerus dalam kebid’ahannya.”(Al-I’tishom: 1/44)
3.    Lemahnya hujjah para ahli batil dan ahli bid’ah dalam mempropagandakan ajaran mereka karena tidak berdasar al-Qur’an dan al-hadist dengan pemahaman salafus sholeh,  namun ajaran mereka berdasarkan hawa nafsu belaka.
4.    Kepercayaan diri ahlus sunnah dalam membendung pemikiran menyimpang. Hal ini nampak dari ucapan al-Adzromi ketika al-Watsiq membentaknya,’Tenanglah wahai Amirul Mukminin.”
5.    Faham al-Qur’an makhluk adalah  faham batil menyelesihi al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ ulama salafus sholih.
6.    Mendakwahkan sesuatu ajaran agama kepada manusia yang tidak didakwahkan oleh Rosulullah ﷺ adalah bid’ah dan merupakan kebatilan.
7.    Pengaruh orang-orang dekat bagi kebaikan dan keburukan seseorang, karena al-Watsiq  terpengaruh oleh Ibnu Abi Du’at yang berfaham mu’tazilah jahmiyyah menyimpang. Setelah sadar beliau meminta Al-adzromi untuk tinggal bersamanya sehingga bisa mempengaruhi penghuni istana denagn ilmu dan kebaikannya.
8.    Permusuhna ahlu bid’ah terhadap ahlus sunnah memang nyata dan akan terjadi sampai hari kiamat nanti.
9.    Zuhudnya ahlus sunnah dengan urusan dunia. Hal ini nampak dari kengganan al-Adzromi untuk tinggal di istana al-Watsiq dan beliau menolak hak istimewa yang diberikan kepadanya baik materi atau kebutuhan hidup liannya.

Oleh Abu Hasan as-Syihaby
Larut malam di sudut utara kabupaten Lamongan Jatim, Kamis, 18 Jumadits Tsani 1438 H/ 16 Maret 2017 M

Berikut cerita dalam teks Arab versi Imam Al-Ajuri :

 حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ جَعْفَرُ بْنُ إِدْرِيسَ الْقَزْوِينِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْمُمْتَنِعِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ الْقُرَشِيُّ التَّيْمِيُّ قَالَ: أنا أَبُو الْفَضْلِ صَالِحُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ يَعْقُوبَ بْنِ الْمَنْصُورِ الْهَاشِمِيُّ وَكَانَ مِنْ وُجُوهِ بَنِي هَاشِمٍ وَأَهْلِ الْجَلَالَةِ، وَالشَّأْنِ مِنْهُمْ قَالَ: حَضَرْتُ الْمُهْتَدِيَ بِاللَّهِ أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، وَقَدْ [ص:541] جَلَسَ يَنْظُرُ فِي أُمُورِ الْمُسْلِمِينَ فِي دَارِ الْعَامَّةِ، فَنَظَرْتُ إِلَى قِصَصِ النَّاسِ تُقْرَأُ عَلَيْهِ مِنْ أَوَّلِهَا إِلَى آخِرِهَا فَيَأْمُرُ بِالتَّوْقِيعِ فِيهَا وَإِنْشَاءِ الْكُتُبِ لِأَصْحَابِهَا، وَيَخْتِمُ وَيَدْفَعُ إِلَى صَاحِبِهِ، بَيْنَ يَدَيْهِ، فَسَرَّنِي ذَلِكَ، وَجَعَلْتُ أَنْظُرُ إِلَيْهِ، فَفَطِنَ وَنَظَرَ إِلَيَّ، فَغَضَضْتُ عَنْهُ حَتَّى كَانَ ذَلِكَ مِنِّي وَمِنْهُ مِرَارًا ثَلَاثًا، وَإِذَا نَظَرَ غَضَضْتُ، وَإِذَا اشْتَغَلَ نَظَرْتُ، فَقَالَ لِي: يَا صَالِحُ، فَقُلْتُ: لَبَّيْكَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، فَقُمْتُ قَائِمًا، فَقَالَ: فِي نَفْسِكَ مِنَّا شَيْءٌ يَجِبُ أَنْ تَقُولَهُ؟ أَوْ قَالَ: تُرِيدُ أَنْ تَقُولَهُ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ، يَا سَيِّدِي يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ قَالَ لِي: عُدْ إِلَى مَوْضِعِكَ، فَعُدْتُ، وَعَادَ فِي النَّظَرِ، حَتَّى إِذَا قَامَ قَالَ لِلْحَاجِبِ: لَا يَبْرَحُ صَالِحٌ، فَانْصَرَفَ النَّاسُ ثُمَّ أَذِنَ لِي، وَقَدْ أَهَمَّتْنِي نَفْسِي فَدَخَلْتُ فَدَعَوْتُ لَهُ، فَقَالَ لِي: اجْلِسْ، فَجَلَسْتُ، فَقَالَ: يَا صَالِحُ، تَقُولُ لِي، مَا دَارَ فِي نَفْسِكَ، أَوْ أَقُولُ أَنَا: مَا دَارَ فِي نَفْسِي أَنَّهُ دَارَ فِي نَفْسِكَ؟ قُلْتُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، مَا تَعْزِمُ عَلَيْهِ، وَمَا تَأْمُرُ بِهِ فَقَالَ: وَأَقُولُ: كَأَنِّي بِكَ وَقَدِ اسْتَحْسَنْتَ مَا رَأَيْتَ مِنَّا، فَقُلْتُ: أَيُّ خَلِيفَةٍ خَلِيفَتُنَا، إِنْ لَمْ يَكُنْ يَقُولُ: الْقُرْآنُ مَخْلُوقٌ؟ فَوَرَدَ عَلَى قَلْبِي أَمْرٌ عَظِيمٌ، وَأَهَمَّتْنِي نَفْسِي، ثُمَّ قُلْتُ: يَا نَفْسُ، هَلْ تَمُوتِينَ إِلَّا مَرَّةً؟ وَهَلْ تَمُوتِينَ قَبْلَ أَجَلِكَ؟ وَهَلْ يَجُوزُ الْكَذِبُ فِي جَدٍّ أَوْ هَزْلٍ؟ [ص:542] فَقُلْتُ: وَاللَّهِ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، وَمَا دَارَ فِي نَفْسِي إِلَّا مَا قُلْتُ، ثُمَّ أَطْرَقَ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ لِي: وَيْحَكَ، اسْمَعْ مِنِّي مَا أَقُولُ، فَوَاللَّهِ لَتَسْمَعَنَّ مِنِّي الْحَقَّ، فَسُرِّيَ عَنِّي فَقُلْتُ: يَا سَيِّدِي وَمَنْ أَوْلَى بِقَوْلِ الْحَقِّ مِنْكَ، وَأَنْتَ خَلِيفَةُ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَابْنُ عَمِّ سَيِّدِ الْمُرْسَلِينَ، مِنَ الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ فَقَالَ لِي: مَا زِلْتُ أَقُولُ: إِنَّ الْقُرْآنَ مَخْلُوقٌ صَدْرًا مِنْ خِلَافَةِ الْوَاثِقِ، حَتَّى أَقْدَمَ عَلَيْنَا أَحْمَدُ بْنُ أَبِي دُؤَادٍ شَيْخًا مِنْ أَهْلِ الشَّامِ مِنْ أَهْلِ أَذَنَةَ فَأُدْخِلَ الشَّيْخُ عَلَى الْوَاثِقِ مُقَيَّدًا، وَهُوَ جَمِيلُ الْوَجْهِ تَامُّ الْقَامَةِ [ص:543]، حَسَنُ الشَّيْبَةِ، فَرَأَيْتُ الْوَاثِقَ قَدِ اسْتَحْيَى مِنْهُ، وَرَقَّ لَهُ، فَمَا زَالَ يُدْنِيهُ وَيُقَرِّبُهُ، حَتَّى قَرُبَ مِنْهُ، فَسَلَّمَ الشَّيْخُ فَأَحْسَنَ السَّلَامَ، وَدَعَا فَأَبْلَغَ الدُّعَاءَ، وَأَوْجَزَ، فَقَالَ لَهُ الْوَاثِقُ اجْلِسْ ثُمَّ قَالَ لَهُ: يَا شَيْخُ، نَاظِرِ ابْنَ أَبِي دُؤَادٍ عَلَى مَا يُنَاظِرُكَ عَلَيْهِ فَقَالَ الشَّيْخُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، ابْنُ أَبِي دُؤَادٍ يَقِلُّ وَيَضِيقُ، وَيَضْعُفُ عَنِ الْمُنَاظَرَةِ فَغَضِبَ الْوَاثِقُ، وَعَادَ مَكَانَ الرَّأْفَةِ لَهُ غَضَبًا عَلَيْهِ، فَقَالَ: أَبُو عَبْدِ اللَّهِ بْنُ أَبِي دُؤَادٍ يَصْبُو وَيَقِلُّ وَيَضْعُفُ عَنْ مُنَاظَرَتِكَ أَنْتَ؟ فَقَالَ لَهُ الشَّيْخُ: هَوِّنْ عَلَيْكَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ مَا بِكَ وَائْذَنْ لِي فِي مُنَاظَرَتِهِ، فَقَالَ الْوَاثِقُ: مَا دَعَوْتُكَ إِلَّا لِلْمُنَاظَرَةِ فَقَالَ الشَّيْخُ: يَا أَحْمَدُ بْنُ أَبِي دُؤَادٍ، إِلَى مَا دَعَوْتَ النَّاسَ وَدَعَوْتَنِي إِلَيْهِ؟ فَقَالَ: إِلَى أَنْ تَقُولَ: الْقُرْآنُ مَخْلُوقٌ؛ لِأَنَّ كُلَّ شَيْءٍ دُونَ اللَّهِ مَخْلُوقٌ فَقَالَ الشَّيْخُ: إِنْ رَأَيْتَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْ تَحْفَظَ عَلَيَّ وَعَلَيْهِ مَا نَقُولُ، قَالَ: أَفْعَلُ، قَالَ الشَّيْخُ: أَخْبِرْنِي يَا أَحْمَدُ عَنْ مَقَالَتِكَ هَذِهِ، أَوَاجِبَةٌ دَاخِلَةٌ فِي عَقْدِ [ص:544] الدِّينِ، فَلَا يَكُونُ الدِّينُ كَامِلًا حَتَّى يُقَالَ فِيهِ مَا قُلْتَ؟ قَالَ: نَعَمْ قَالَ الشَّيْخُ: يَا أَحْمَدُ أَخْبِرْنِي عَنِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ بَعَثَهُ اللَّهُ تَعَالَى إِلَى عِبَادِهِ، هَلْ سَتَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا مِمَّا أَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى بِهِ فِي دِينِهِ؟ قَالَ: لَا قَالَ الشَّيْخُ: فَدَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْأُمَّةَ إِلَى مَقَالَتِكَ هَذِهِ؟ فَسَكَتَ ابْنُ أَبِي دُؤَادٍ فَقَالَ الشَّيْخُ: تَكَلَّمْ فَسَكَتَ، فَالْتَفَتَ الشَّيْخُ إِلَى الْوَاثِقِ، فَقَالَ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، وَاحِدَةٌ فَقَالَ الْوَاثِقُ: وَاحِدَةٌ، فَقَالَ الشَّيْخُ: يَا أَحْمَدُ، أَخْبِرْنِي عَنِ اللَّهِ تَعَالَى، حِينَ أَنْزَلَ الْقُرْآنَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: {الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي، وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا} [المائدة: 3] أَكَانَ اللَّهُ تَعَالَى الصَّادِقُ فِي إِكْمَالِ دِينِهِ، أَمْ أَنْتَ الصَّادِقُ فِي نُقْصَانِهِ، فَلَا يَكُونُ الدِّينُ كَامِلًا حَتَّى يُقَالَ فِيهِ بِمَقَالَتِكَ هَذِهِ؟ فَسَكَتَ ابْنُ أَبِي دُؤَادٍ فَقَالَ الشَّيْخُ: أَجِبْ يَا أَحْمَدُ، فَلَمْ يُجِبْهُ، فَقَالَ الشَّيْخُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، اثْنَتَانِ فَقَالَ الْوَاثِقُ: اثْنَتَانِ [ص:545] فَقَالَ الشَّيْخُ: يَا أَحْمَدُ أَخْبِرْنِي عَنْ مَقَالَتِكَ هَذِهِ، أَعَلِمَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمْ جَهِلَهَا؟ قَالَ ابْنُ أَبِي دُؤَادٍ: عَلِمَهَا قَالَ الشَّيْخُ: فَدَعَا النَّاسَ إِلَيْهَا؟ فَسَكَتَ ابْنُ أَبِي دُؤَادٍ فَقَالَ الشَّيْخُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، ثَلَاثٌ فَقَالَ الْوَاثِقُ: ثَلَاثٌ فَقَالَ الشَّيْخُ: يَا أَحْمَدُ، فَاتَّسَعَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ عَلِمَهَا كَمَا زَعِمْتَ، وَلَمْ يُطَالِبْ أُمَّتَهُ بِهَا؟ قَالَ: نَعَمْ قَالَ الشَّيْخُ: وَاتَّسَعَ لِأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ؟ فَقَالَ ابْنُ أَبِي دُؤَادٍ: نَعَمْ فَأَعْرَضَ الشَّيْخُ عَنْهُ، وَأَقْبَلَ عَلَى الْوَاثِقِ، فَقَالَ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، قَدْ قَدَّمْتُ لَكَ الْقَوْلَ أَنَّ أَحْمَدَ يَصْبُو وَيَقِلُّ وَيَضْعُفُ عَنِ الْمُنَاظَرَةِ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، إِنْ لَمْ يَتَّسِعْ لَكَ الْإِمْسَاكُ عَنْ هَذِهِ الْمَقَالَةِ، مَا اتَّسَعَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ، فَلَا وَسَّعَ اللَّهُ عَلَى مَنْ لَمْ يَتَّسِعْ لَهُ مَا اتَّسَعَ لَهُمْ مِنْ ذَلِكَ [ص:546] فَقَالَ الْوَاثِقُ: نَعَمْ إِنْ لَمْ يَتَّسِعْ لَنَا مِنَ الْإِمْسَاكِ عَنْ هَذِهِ الْمَقَالَةِ مَا اتَّسَعَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ، فَلَا وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْنَا، اقْطَعُوا قَيْدَ الشَّيْخِ، فَلَمَّا قُطِعَ ضَرَبَ الشَّيْخُ بِيَدِهِ إِلَى الْقَيْدِ لِيَأْخُذَهُ فَجَاذَبَهُ الْحَدَّادُ عَلَيْهِ، فَقَالَ الْوَاثِقُ: دَعِ الشَّيْخَ لِيَأْخُذَهُ، فَأَخَذَهُ الشَّيْخُ فَوَضَعَهُ فِي كُمِّهِ، فَقَالَ الْوَاثِقُ: لِمَ جَاذَبْتَ عَلَيْهِ؟ قَالَ الشَّيْخُ: لِأَنِّي نَوَيْتُ أَنْ أَتَقَدَّمَ إِلَى مَنْ أُوصِي إِلَيْهِ إِذَا مِتُّ أَنْ يَجْعَلَهُ بَيْنِي وَبَيْنَ كَفَنِي، حَتَّى أُخَاصِمَ بِهِ هَذَا الظَّالِمَ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَأَقُولَ: يَا رَبِّ، سَلْ عَبْدَكَ هَذَا لِمَ قَيَّدَنِي وَرَوَّعَ أَهْلِي وَوَلَدِي وَإِخْوَانِي بِلَا حَقٍّ وَأَوْجَبَ ذَلِكَ عَلَيَّ؟ وَبَكَى الشَّيْخُ فَبَكَى الْوَاثِقُ وَبَكَيْنَا، ثُمَّ سَأَلَهُ الْوَاثِقُ أَنْ يَجْعَلَهُ فِي حِلٍّ وَسَعَةٍ مِمَّا نَالَهُ فَقَالَ الشَّيْخُ: وَاللَّهِ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، لَقَدْ جَعَلْتُكَ فِي حِلٍّ وَسَعَةٍ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ إِكْرَامًا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذْ كُنْتَ رَجُلًا مِنْ أَهْلِهِ فَقَالَ الْوَاثِقُ: لِي إِلَيْكَ حَاجَةٌ فَقَالَ الشَّيْخُ: إِنْ كَانَتْ مُمْكِنَةً فَعَلْتُ فَقَالَ الْوَاثِقُ: تُقِيمُ فِينَا فَيَنْتَفِعَ بِكَ فِتْيَانُنَا، فَقَالَ الشَّيْخُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، إِنَّ رَدَّكَ إِيَّايَ إِلَى الْمَوْضِعِ الَّذِي أَخْرَجَنِي [ص:547] مِنْهُ هَذَا الظَّالِمُ أَنْفَعُ لَكَ مِنْ مَقَامِي عَلَيْكَ، وَلَأُخْبِرُكَ بِمَا فِي ذَلِكَ: أَصِيرُ إِلَى أَهْلِي وَوَلَدِي وَأَكُفُّ دُعَاءَهُمْ عَلَيْكَ، فَقَدْ خَلَّفْتُهُمْ عَلَى ذَلِكَ فَقَالَ لَهُ الْوَاثِقُ: فَتَقَبَّلْ مِنَّا صِلَةً مَا تَسْتَعِينُ بِهَا عَلَى دَهْرِكَ فَقَالَ الشَّيْخُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ لَا تَحِلُّ لِي، أَنَا عَنْهَا غَنِيٌّ، وَذُو مِرَّةٍ سَوِيٍّ قَالَ: فَسَلْ حَاجَتَكَ قَالَ: أَوَ تَقْضِيهَا يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ؟ قَالَ: نَعَمْ قَالَ: فَخَلِّ سَبِيلِي إِلَى الثَّغْرِ السَّاعَةَ، وَتَأْذَنْ لِي قَالَ: قَدْ أَذِنْتُ لَكَ، فَسَلَّمَ الشَّيْخُ، وَخَرَجَ قَالَ صَالِحٌ: قَالَ الْمُهْتَدِي بِاللَّهِ رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَيْهِ: فَرَجَعْتُ عَنْ هَذِهِ الْمَقَالَةِ مُنْذُ ذَلِكَ الْيَوْمِ، وَأَظُنُّ الْوَاثِقَ بِاللَّهِ كَانَ رَجَعَ عَنْهَا مِنْ ذَلِكَ الْوَقْتِ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jazakumullah atas kunjungan dan perhatian anda. Komentar yang bijak adalah kehormatan kami.