Cara Ibnu Arobi Menyebarkan Ajaran Tasawwuf - Permata Salafus Sholih

Breaking

Meniti Aqidah dan Manhaj Para Nabi dan Salafus Sholeh

Anda diperbolehkan mengkopi paste ayat, hadist dan terjemahannya tanpa menyebutkan sumbernya serta diperbolehkan untuk menyebarkan artikel-artikel di blog ini dengan menyertakan sumbernya, namun anda dilarang menyebarkannya dengan mengeditnya dan mengakui sebagai tulisan anda dengan tujuan komersil atau non komersil

Senin, 05 Maret 2018

Cara Ibnu Arobi Menyebarkan Ajaran Tasawwuf

Kaum sufi adalah kaum yang mengajarkan ajaran yang tidak bersumber dari al-Qur’an dan as-sunnah. Ajaran mereka bersumber dari akal dan perasaan sehingga lahirlah ajaran batil dan sesat yang berisi kemusrikan dan bid’ah . Diantara ajaran mereka adalah hulul (menitisnya Allah dalam diri makhluk) dan wihdatul wujud (manunggaling kawulo gusti atau menyatunya Allah dengan makhluk dan alam semesta) atau al-ittihadiyyah.  Inilah pada hakekatnya inti ajaran tasawwuf sesungguhnya.

Dalam menyiarkan ajaran-ajaran batil mereka, kaum sufi membuat berbagai cara agar dapat diterima oleh masyarakat awam. Diantaranya adalah pengakuan mereka bahwa Rosulullah ﷺ mendatangi mereka dalam mimpi atau dalam keadaan terjaga, lalu mereka mengaku Rosulullah ﷺ mengajarkan kepada mereka keyakinan-keyakinan atau dzikir-dzikir yang pada hakekatnya bertentangan dengan syari’at Islam.

Salah satu gembong kaum sufi adalah Ibnu Arobi atau Abu Bakar Muhyiddin Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Hatimi at-Tho’i al-Andulusi (W 638 H). Dia menulis kitab Fushus al-Hikam yang berisi ajaran sesat  tasawuf berupa penyelewengan aqidah, kekufuran dan kezindikan seperti kesyirikan, wihdatul wujud dan ittihadiyyah. Untuk menyiarkan ajarannya ini, dia mengaku menerima kitab itu dari Rosululllah ﷺ dalam mimpi.

Ibnu Arobi berkata:
أما بعد فإني رأيت رسول الله في مبشرة أريتها في العشر الآخر من محرم سنة سبع وعشرين وستمائة بمحروسة دمشق، وبيده صلى الله عليه وسلم كتاب فقال لي: هذا كتاب فصوص الحكم خذه واخرج به إلى ناس ينتفعون به، فقلت: السمع والطاعة لله ولرسوله وأولي الأمر منا كما أمرنا، فحققت الأمنية، وأخلصت النية إلى إبراز هذا الكتاب كما حدده لي رسول الله صلى الله عليه وسلم من غير زيادة ولا نقصان
”Sesungguhnya aku bermimpi melihat Rosulullah  di sepuluh terakhir bulan Muharrom sedang ditangannya ada sebuah kitab, maka beliau berkata kepadaku,’Ini kitab Fushus al-Hikam, ambillah dan keluarlah kepada manusia agar mereka mendapatkan manfaatnya.’ Maka akupun mengatakan,’Aku mendengar dan taat kepada Allah, Rosul-Nya dan Ulul Amri kami sebagaimana kami diperintah. Maka aku pun merealisasikan keinginan itu dan memurnikan niat untuk menampakkan kitab ini  sebagaimana yang telah ditentukan oleh Rosulullah ﷺ tanpa menambah dan mengurangi.”.” (Fushus Al-Hikam hal. 47)

    Ucapan Ibnu Arobi tersebut sangat mustahil, bagaimana mungkin Rosulullah ﷺ yang mengajarkan umatnya keimanan dan tauhid kepada Allah ﷻ menyuruh menyiarkan kitab yang penuh dengan kekufuran dan penyelewengan aqidah seperti kesyirikan, wihdatul wujud, alittihadiyyah dan kebejatan-kebejatan lainnya. Berikut penyelewengan-penyelewengannya:

Ibnu Arobi berkata tentang kaum nabi Nuh, penyembah berhala-berhala:

فقالوا في مكرهم: «وَ قالُوا لا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَ لا تَذَرُنَّ وَدًّا وَ لا سُواعاً وَ لا يَغُوثَ وَ يَعُوقَ وَ نَسْراً»، فإنهم إذا تركوهم جهلوا من الحق على قدر ما تركوا من هؤلاء، فإن للحق في كل معبود وجهاً يعرفه من يعرفه و يجهله من يجهله
“Maka mereka berkata tentang makar mereka,’Dan mereka berkata: ‘Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa', yaghuts, ya'uq dan nasr’. Maka jika mereka meninggalkan berhala-berhala tersebut maka mereka tidak mengetahui kebenaran senilai yang mereka tinggalkan, maka sesungguhnya kebenaran di setiap sesembahan itu mempunyai cara yang hanya diketahui oleh orang berpengetahuan dan tidak diketahui oleh orang bodoh”(Fushus Al-Hikam hal. 72)

Dia juga berkata:

فالعالم يعلم من عُبِدَ، و في أي صورة ظهر حتى عبدَ، و أن التفريق و الكثرة كالأعضاء في الصورة المحسوسة و كالقوى المعنوية في الصورة الروحانية، فما عُبدَ غير الله في كل معبود. فالأدنى من تخيل فيه الألوهية، فلو لا هذا التخيل ما عبد الحجر و لا غيره
“Maka Orang Alim mengetahui siapa yang disembah, dan dalam bentuk apapun yang tampak sehingga dia beribadah. Sesungguhnya pemisahan dan kebanyakan orang itu seperti anggota badan dalam bentuk konkrit dan seperti kekuatan abstract dalam bentuk ruhani, maka tidaklah selain Allah itu disembah di setiap sesembahan. Maka yang paling rendah tingkatannya adalah orang yang menghayalkan ketuhanan, sekiranya bukan karena imajinasi ini tentu batu dan yang lainnya tidak disembah.”(Idem)

Ucapan-ucapan tersebut adalah kemusyrikan. Menurut Ibnu Arobi orang yang menyembah berhala adalah orang yang mengetahui kebenaran sedangkan orang yang meninggalkan penyembahan berhala adalah orang yang tidak tahu kebenaran atau orang bodoh.

Ibnu Arobi berkata:

علم أن الحق المنزّه هو الخلق المشبه، و إن كان قد تميز الخلق من الخالق. فالأمر الخالق المخلوق، و الأمر المخلوق الخالق. كل ذلك من عين واحدة، لا، بل هو العين الواحد و هو العيون الكثيرة
“Telah diketahui bahwa al-Haq yang disucikan (Allah-pent) adalah makhluk yang diserupakan, meskipun makhluk berbeda dengan al-Kholiq. Maka perkara al-Kholiq adalah makhluk, dan perkara makhluk adalah kholiq, semua itu dari satu jenis, tidak, namun dia adalah jenis yang satu dan jenis yang banyak.”(Idem hal. 78)

Dia juga berkata :
و من أسمائه الحسنى العلي.على من و ما ثم إلا هو؟ فهو العلي لذاته. أو عن ما ذا و ما«6» هو إلا هو؟ فعلوه لنفسه. و هو من حيث الوجود عين الموجودات. فالمسمى محدثات هي العليَّة لذاتها و ليست إلا هو
“Dan diantara asma’-asma’-Nya yang husna adalah al’Aliyyu (Maha Tinggi). Lalu diatas siapa sedangkan tidak ada sesuatupun kecuali Dia? Maka Dia Maha tinggi karena Dzat-Nya. Atau dari apa sedangkan tidak ada apapun kecuali Dia? Maka ketinggian-Nya adalah karena diri-Nya. Maka dari segi keberadaan Dia adalah inti sesuatu yang ada. Maka yang dinamakan sesuatu yang baru adalah Dia Maha tinggi karena Dzat-Nya dan tiada yang lain kecuali Dia.”(Idem hal. 76)

Ucapan ucapan itu menunjukkan keyakinan Ibnu Arobi tentang wihdatul wujud dan ittihadiyyah. Menurut dia semua yang ada ini, baik alam semesta dan segala isinya pada hakekatnya adalah tuhan itu sendiri. Dan ini adalah ucupan kufur.

Ibnu Arobi berkata:

واعلم أن الولاية هي الفلك المحيط العام؛ ولهذا لم تنقطع ولها الإنباء العام، وأما نبوة التشريع، والرسالة فمنقطعة
“Dan ketahuilah sesungguhnya kewalian itu adalah kapal yang meliputi segalanya. Oleh sebab itu, kewalian tidak terputus dan memiliki hak menyampaikan (ajaran) secara umum, sedangkan kenabian syari’at dan kerosulan telah terputus.”(Idem hal. 134)

Dia juga berkata:

 إن الولي فوق النبي و الرسول، فإنه يعني بذلك في شخص واحد: و هو أن الرسول عليه السلام- من حيث هو ولي- أتم من حيث هو نبي رسول
“Sesungguhnya wali itu diatas nabi dan rosul, yang demikiaa itu ada pada satu orang, artinya bahwa Rosul عليه السلام dari segi kedudukan dia sebagai wali lebih utama daripada kedudukannya sebagai nabi dan rosul.”(Idem hal. 135)

Dengan ucapan tersebut, Ibnu Arobi meyakini bahwa wali itu lebih mulia daripada Nabi dan Rosul. Padahal Kedudukan Nabi dan Rosul itu adalah kedudukan yang paling mulia. Dengan pembagian batil ini dan ucapannya bahwa kewalian belum terputus, Ibnu Arobi bertujuan menyebarkan ajarannya yang sesat agar diterima karena dia tidak bisa untuk mengubah ajaran Rosulullah ﷺ.

Ibnu Arobi berkata lagi:

و لمَّا مثّل النبي صلى الله عليه و سلم النبوة بالحائط من اللَّبِن و قد كَمُلَ سوى موضع لبنَة، فكان صلى الله عليه و سلم تلك اللبنة. غير أنه صلى الله عليه و سلم لا يراها كما قال لبِنَةً واحدةً. و أما خاتم الأولياء فلا بد له من هذه الرؤيا، فيرى ما مثله به رسول الله صلى الله عليه و سلم، و يرى في الحائط موضع لبنَتين«2»، و اللّبِنُ من ذهب و فضة. فيرى اللبنتين اللتين«3» تنقص الحائط عنهما و تكمل بهما، لبنة ذهب و لبنة فضة. فلا بد أن يرى نفسه تنطبع في موضع تينك اللبنتين، فيكون خاتم الأولياء تينك اللبنتين. فيكمل الحائط. و السبب الموجِب لكونه رآها«4» لبنتين أنه تابع لشرع خاتم الرسل في الظاهر و هو موضع اللبنة الفضة«5»، و هو ظاهره و ما يتبعه فيه من الأحكام، كما هو آخذ عن«6» الله في السر ما هو بالصورة الظاهرة«7» متبع فيه، لأنه يرى الأمر عَلَى ما هو عليه، فلا بد أن يراه هكذا و هو موضع اللبنة الذهبية في الباطن، فإِنه أخذ من المعدن الذي يأخذ منه الملك الذي يوحي«8» به إِلى الرسول
“Dan ketika Nabi ﷺ membuat perumpamaan kenabian dengan dinding dari batu bata dan hampir sempurna kecuali tinggal  satu tempat batu bata. Maka Nabi ﷺ adalah satu batu bata itu, namun beliau tidak melihat sebagaimana yang beliau katakan satu batu bata. Adapun penutup para wali maka pasti dia melihatnya, maka dia melihat apa yang dibuat permisalannya oleh Rosulullah ﷺ. Dia melihat di dinding ada dua tempat batu bata yaitu satu batu bata dari emas dan yang lain dari perak. Maka dia melihat dua batu bata yang membuat dinding berkurang dan sempurna yaitu batu bata emas dan batu bata perak. Maka tentu dia melihat dirinya tercetak di  dua batu bata tersebut. Maka penutup wali adalah dua batu bata itu sehingga sempurnalah dinding itu. Sebab yang menjadikan dia melihat dua batu bata itu adalah karena dia mengikuti syari’at penutup Rosul secara dzohir. Itulah tempat batu bata perak dan itu pula yang nampak. Sedangkan hukum-hukum yang dia ikuti sebagaimana yang dia ambil dari Allah secara rahasia tidaklah itu tampak secara nyata diikuti, karena dia melihat perkara yang sebenarnya. Maka sudah tentu dia melihatnya demikian.Dan itulah tempat batu bata emas secara batin. Maka sesungguhnya dia mengambil (ilmu) dari tambang yang para malaikat -yang menyampaikan wahyu kepada Rosul- mengambilnya.”(Idem hal. 63)

Sungguh Ucapan –uacapan ini adalah uacapan yang lancang terhadap Rosulullah ﷺ. Ibnu Arobi menganggab bahwa para wali itu lebih utama dan mulia dari Rosulullah ﷺ. Dia menganggap wali adalah batu bata yang terbuat dari emas sedangkan Rosulullah ﷺ adalah batu bata perak. Dia juga menganggap para wali mengambil ilmu langsung dari  tempat para malaikat mengambil ilmu sedangkan para rosul hanya mengambilnya dari para malaikat. Sungguh ini adalah kesesatan nyata yang merendahkan kedudukan Rosulullah ﷺ dan para Nabi. Wa iyyadzu billah.

Oleh sebab itu, maka ucapan Ibnu Arobi yang mengatakan bahwa kitab fushus al-Hikam diberikan oleh Rosulullah ﷺ kepadanya ketika bermimpi adalah tidaklah lepas dari dua kemungkinan, yaitu:

Pertama, dia tidak didatangi siapapun, lalu dia membuat-buat mimpi dusta tersebut untuk melariskan ajaran batilnya kepada manusia dan dia tahu cara ini sangat berpengaruh bagi orang awam.

Kedua, kemungkinan dia didatangi oleh syetan dalam mimpi, lalu syetan tersebut mengaku sebagai Rosulullah ﷺ, lalu dia mempercayainya. Memang  syetan tidak bisa menyerupai Rosulullah ﷺ namun dia bisa datang kepada seseorang dengan sifat yang berbeda dengan sifat beliau ﷺ, lalu mengaku sebagai Rosulullah ﷺ.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahullah berkata:

هذه الأرواح الشيطانية، هي الروح الذي يزعم صاحب الفتوحات أنه ألقى إليه ذلك الكتاب، ولهذا يذكر أنواعا من الخلوات بطعام معين، وشيء معين، وهذه مما تتفتح لصاحبها اتصالا بالجن والشياطين، فيظنون ذلك من كرامات الأولياء.وإنما هو من الأحوال الشيطانية
“Ruh-ruh Syetan inilah sebenarnya ruh yang diakui oleh pemilik kitab al-Futuhat al-Makiyyah (Ibnu Arobi-Pent), bahwasanya ia memberikan kitab itu kepadanya. Oleh sebab itu, kitab itu  menyebutkan bermacam kholwat (pengasingan diri di  tempat sepi-Pent) dengan makanan tertentu atau benda-benda tertentu. Inilah yang membuka hubungan pemiliknya dengan jin dan syetan, lalu mereka mengira hal itu termasuk karomah wali padahal itu adalah bagian dari karomah syetan.”(Al-Furqon Baina Auliyaur Rohman Wa Auliyaus Syaithon hal. 110-111)
   
Begitulah kaum sufi menjajakan ajaran mereka kepada orang-orang awam yang masih polos, kadang mereka memaksakan keyakinan mereka dengan mengancam apabila orang-orang tersebut tidak mempercayainya akan mendapat bencana atau kualat (jawa), kena tuah, pamali (sunda) , ketuluhan (Banjar). Sehingga banyak dari orang-orang tersebut karena kebodohannya percaya begitu saja dan bahkan menjadi pengikut mereka yang fanatik.

Oleh Abu Failaqullah as-Syihaby
Malam berbintang di sudut utara kabupaten Lamongan Jatim, Senin, 18 Jumadis Tsani 1439 H/ 5 Maret 2018 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jazakumullah atas kunjungan dan perhatian anda. Komentar yang bijak adalah kehormatan kami.